Ternyata Masa Transisi itu...

Hari ini sudah genap 12 bulan saya menjalani masa transisi dari wanita karier menjadi stay at home mom. Hore! Happy 1st anniversary as stay at home mom for me!! Haha.

Dalam rangka merayakan work anniversary, saya mau bikin catatan buat kenang-kenangan setahun pertama masa transisi. Selama 1 tahun ini, banyak sekali pengalaman baru yang mungkin nggak saya dapatkan kalau saya nggak resign dan jadi ibu rumah tangga. Masalah sosial, finansial, psikologis, duh... Kalau ini adalah materi kuliah kehidupan, semoga saya sudah lulus dengan nilai A (hehe ngarep). Tapi saya yakin, pasti masih banyak banget masalah dan dinamika kehidupan selain yang sudah saya lewati.

Di post ini saya mau cerita tentang transisi di 3 aspek kehidupan itu; sosial, finansial, dan psikologis. Mungkin sebenarnya masih banyak aspek-aspek kehidupan lainnya. Someday, kalau saya ingat akan saya update di post ini :)

Pertama, yang paling awal dan besar perubahannya (menurut saya) adalah kehidupan sosial. Ya gimana nggak berubah, yang biasanya selalu sibuk sama urusan kantor, klien, dan segala perintilannya, dikelilingi oleh teman-teman dan rekan kerja yang gaul dan up to date setiap harinya, mendadak harus stay di rumah mengasuh bayi yang nggak tahu apa-apa sambil mengurus semua keperluan (plus pekerjaan) rumah tangga. Yang biasanya selalu tampil rapi dengan make up, jadi mulai membiasakan diri dengan setelan daster dan muka berminyak karena bahkan sering nggak sempat mandi. Yang biasanya makan siang fancy sambil ngobrol-ngobrol seru, mendadak harus makan siang sendirian seadanya karena nggak sempat masak. Itu pun baru bisa dilakukan setelah semua kebutuhan bayi selesai terpenuhi. Shocked? Lumayan.

Tapi yang paling berat buat saya adalah menyalurkan kebiasaan ngobrol. Saya bisa lumayan bodo amat nggak kelihatan rapi dan cantik, tapi nggak punya teman ngobrol rasanya berat sekali. Mungkin karena konon perempuan butuh mengeluarkan 20.000 kata per hari ya..
"Emang nggak punya tetangga?? Nggak ngobrol sama tetangga???"
Tetangga saya pastinya banyak, dan rajin 'ngariung' di bawah pohon menikmati semilir angin pagi-siang-sore sambil berbincang hangat diselingi canda tawa nan renyah. But I feel not really into them, mungkin karena jarak usia yang jauh–saya adalah ibu termuda di gang komplek sementara yang lainnya rata-rata sudah bercucu. Satu-dua tetangga bisa saya akrabi, tapi selebihnya ya hanya saling kenal dan sapa saja. Otomatis, saya lebih sering stay di dalam rumah karena ngobrol dengan teman-teman via Whatsapp atau Instagram terasa lebih nyambung. Yah, sesekali saya menyapa tetangga sambil ajak Rania main di luar atau pergi ke minimarket. My fault, tapi yaa gitu deh, manusia memang selalu cari yang paling nyaman, kan?

Kebiasaan yang ternyata sudah berubah jadi kebutuhan ini lambat laun mengubah kepribadian saya. Seorang Dini yang sebelumnya mungkin dikenal cheerful, ramah, dan cenderung bawel, berubah jadi seorang yang hanya bicara seperlunya. Mudah-mudahan yang satu ini hanya soal pembiasaan saja, nggak kayak skill  Excel yang menurun dan harus diikhlaskan, dari yang lumayan expert (ehem!) sampai akhirnya mulai lupa rumus karena nggak pernah dipakai lagi. Atau mungkin karena aslinya saya seorang introvert? Ya, bisa jadi.

Yang kedua adalah aspek finansial. Sebenarnya nggak ada perubahan drastis dari keuangan rumah tangga saya, hanya lebih teratur dan termonitor aja. Sebelum saya resign, saya dan suami memegang dan berkuasa atas gaji kami masing-masing. Kami cuma membuat beberapa pos kebutuhan dan menentukan siapa-harus-bayar-pos-apa. Selebihnya, ya terserah pemilik dana. Kami nggak punya financial planning ataupun budgetingwe spent and saved as much as we want, tapi pada akhirnya kami hanya menabung sekenanya karena belanja semaunya.

Setelah saya resign, selain karena sumber aliran dana segar bulanan tinggal dari satu pintu, saya juga berambisi untuk menjadi manajer keuangan yang baik untuk rumah tangga saya. Kami membagi jatah bulanan menjadi 2 pos; untuk keperluan suami seperti operasional ke, di, dan dari kantor, dan untuk keperluan operasional rumah tangga, termasuk tabungan dan investasi. Kapan-kapan, saya cerita soal pengaturan pos operasional rumah tangga di post terpisah ya!

Biasanya, pertanyaan orang-orang selepas saya resign adalah, "sekarang harus hemat dong??" Awalnya saya sempat tersinggung, kesannya kok kami auto-melarat kalau saya nggak kerja, seakan suami saya nggak capable buat menafkahi hidup kami, padahal alhamdulillah sama sekali nggak ada yang berkurang walau saya nggak kerja. Dulu saya memang menghasilkan nominal yang lumayan setiap bulannya, dan mungkin karena hampir semua orang tahu kisaran gaji auditor Big4, mereka (mungkin) jadi mengkhawatirkan apakah saya bisa survive kalau nggak ada sekian digit angka mutasi masuk rekening saya lagi tiap akhir bulan. Padahal, hidup hemat itu seharusnya sudah saya lakukan sejak sebelum resign, bukan karena sudah resign.

Sebelum resign, saya diyakinkan dengan konsep rezeki ≠ gaji. Gaji hanyalah salah satu dari sekian banyak bentuk rezeki. Dan setelah saya jadi ibu rumah tangga, terasa sekali kalau jumlah rezeki selalu tetap meski angka gaji yang kami miliki berubah. Bahkan terkadang rasanya bertambah jika melihat jumlah di rekening tabungan dan investasi. Jadi kalau ada yang bilang rezeki sudah diatur, atau kalau istri di rumah rezeki istri akan diberikan lewat suami, itu 100% betul banget. Karena dari yang saya alami, saya nggak pernah merasa kekurangan meskipun nggak punya gaji lagi.

Sekarang lanjut ke aspek ketiga: psikologis. Soal aspek ini mungkin akan berbeda-beda di tiap orang. Kebetulan saya orang yang perasa dengan rasa ingin tahu yang tinggi alias kepo. Kalau menurut tes kepribadian 16 Personalities, saya termasuk tipe Entertainer. Mungkin tipe kepribadian ini juga menjadi salah satu pemicu post power syndrome yang saya alami di masa transisi, selain faktor-faktor eksternal yang ada.

Seorang tipe entertainer sangat senang dan terbiasa dengan 'lampu sorot' yang tertuju padanya. Pasca resign, kebetulan saya memang mengalami perubahan yang cukup signifikan dari beberapa orang di sekeliling saya— dari yang sebelumnya akrab jadi tidak pernah ditanyakan kabarnya sama sekali. Mungkin memang karena saya yang sensitif, saat ada keluarga yang tinggal berdekatan bilang nggak bisa menemani saya di rumah– dengan alasan sedang sakit atau repot dengan pekerjaan domestik– lalu muncul di ig story sedang lunch di mall saja berhasil bikin saya merasa kecil, nggak diingat keberadaannya, atau merasa diri sebegitu nggak menyenangkannya sampai nggak diajak. Unfortunately, yes, for Entertainers it really matters! Saya pasti otomatis overthinking: kenapa saya nggak diajak? Kenapa mereka nggak ingat saya? Saya ada salah apa? Apa karena sekarang saya punya bayi jadi mereka takut saya repotkan dengan bayi saya? Saya orang yang merepotkan ya? Dan lain sebagainya. Lampu sorot alias perhatian yang hilang, sukses menjadi penyebab sedih dan stress.

Dan ajaibnya, sudah merasa sakit hati dan stress, saya masih kepo dengan aktivitas orang-orang yang menjadi sumber kecewa saya. Semakin hari semakin bertambahlah sedihnya (duh jadi pengen ngetawain diri sendiri hahaha). Yah, mungkin karena saya di rumah doang jadi kebanyakan waktu luang yah buat mikirin hal-hal yang nggak penting hehe.

Oke done curcolnya. Sebenarnya, setelah saya renungkan (tsah!) kunci dari transisi psikologis adalah soal penerimaan, keikhlasan. Ikhlas menerima perubahan yang ada, baik itu perubahan materi maupun non-materi seperti misalnya sikap orang-orang di sekeliling tadi. Karena keputusan membersamai anak di rumah sudah cukup berat namun mulia, jadi baiknya kita nggak kotori dan bebankan dengan memberikan tempat pada hal-hal yang kurang atau nggak baik di hati dan pikiran kita. Karena kita nggak bisa dan nggak perlu menyenangkan semua orang, pun kita juga nggak bisa mengubah sifat dan isi hati orang lain. Jadi, yah, fokus di self-love aja supaya bisa kasih banyak cinta untuk anak dan suami ❤

Begitulah kira-kira. Ternyata masa transisi (so far) dari wanita karir ke ibu rumah tangga itu lumayan (atau sangat?) challenging, exhausting, overwhelming, yet super duper fun. Semua cerita-cerita sedihnya akan selalu kalah sama rasa bahagia bisa 24 jam stand by untuk anak dan suami di rumah. Masa transisi ini jadi masa pembelajaran banget. Belajar mengenali diri sendiri dengan lebih baik, belajar mengelola emosi, belajar adaptasi dalam berbagai case, dan yang paling penting belajar ilmu paling sulit sedunia: sabar dan ikhlas. Karena bagaimanapun, all the negative vibes harus disingkirkan. Bahagia itu harus kita ciptakan, supaya selalu jadi pribadi yang positif. 

Don't let bitterness steal your sweetness, dear self :)

Comments

Popular posts from this blog

Kunjungan ke DSA Konsultan Nutrisi (Finally!)

Posyandu Day: Target Achieved?

Akhirnya Memilih Resign