Cerita Post-power Syndrome

Hari ini sudah genap tiga bulan saya menjadi stay at home mom. Selama tiga bulan ini, banyak pertanyaan (dan komentar) yang saya terima. Pertanyaan yang paling banyak muncul adalah "udah cari kerjaan lagi belum?" dan "post-power syndrome ga?"

Post-power syndrome?
Iya, buat yang belum tahu, post-power syndrome ini biasanya dialami sama para orang tua yang baru pensiun. Jadi syndrome-nya orang-orang yang biasanya punya power, jabatan, yang selalu dihormati, dlsb. dan tiba-tiba power dan jabatannya ini hilang karena dia pensiun dari jabatan tsb. Mereka yang mengalami syndrome ini merasa kecewa, sedih, bingung, kesepian, dan lebih sensitif perasaannya. Biasanya kalau nggak dilibatkan dalam suatu pembicaraan atau pengambilan keputusan, atau kalau pendapatnya nggak didengar, gejala dari sindrom ini muncul.

Tapi ternyata, post-power syndrome nggak cuma rentan dialami oleh orang-orang tua yang sudah pensiun saja, para wanita karir yang memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga juga banyak yang mengalami sindrom ini.

***
Di awal-awal pasca-resign, saya sempat kikuk kalau ada pertanyaan-pertanyaan soal resign dan pekerjaan. Saya sempat nggak pede, takut dipandang sebelah mata, dan nggak dihargai seperti saat masih menjadi working mom. Singkat kata, saya merasa kehilangan kekuatan saya, saya merasa nggak hebat lagi, nggak ada kelebihannya lagi, dan yang paling penting saya takut jadi ibu-ibu komplek dengan badan bergelambir kurang gerak atau muka berminyak bau bawang. Saya mengalami post-power syndrome? Ya.

Setiap harinya saya menghabiskan waktu hanya berdua bersama Rania. Karena kami tidak menggunakan jasa ART, otomatis hari-hari saya juga diisi dengan pekerjaan domestik seperti mencuci, memasak, bersih-bersih rumah, dll. Pekerjaan yang mungkin bagi sebagian besar orang sangat sepele dan sama sekali nggak keren, tapi buat saya, ini susah banget! Karena sejak kecil saya hampir nggak pernah mengerjakan pekerjaan rumah tangga. 

Dan, deep down inside, I'm a very competitive person. Saya nggak mau kalah dari orang lain. Kalau orang lain bisa, kenapa saya nggak? Kalau orang lain cuma bisa dapat satu bintang, saya mau dua, bahkan kalau bisa lima! Ini yang bikin saya merasa sulit sekali beradaptasi dengan kondisi baru saya, setidaknya pada bulan pertama. Apa yang bisa saya banggakan dari diri saya?

Saya sampai merasa tidak dianggap lagi keberadaannya, karena sejak saya resign tak sekalipun saya mendapatkan kunjungan ke rumah, kecuali dari Mama Papa saya. Jangankan kunjungan, chat atau telepon yang menanyakan kabar saya saja, hanya saya terima dari sahabat-sahabat terdekat. Berharap pada kerabat yang tinggal berdekatan dengan saya, justru hanya menambah kekecewaan. Indeed, expectation leads you to heartache, especially when you're in post-power syndrome.

Mengobati diri sendiri dari post-power syndrome
Karena sudah nggak bisa berkompetisi di dunia kerja, saya berambisi supaya bisa menjadi ibu yang serba bisa. Saat suami menawarkan pakai jasa ART, saya menolak mentah-mentah. Semata-mata karena saya ingin menunjukkan kemampuan saya sebagai istri, sebagai perempuan. Saya ingin membuktikan kalau saya adalah istri yang serba bisa dan nggak manja, walau kenyataannya, 180 derajat. Selama 25 tahun terakhir, saya adalah anak manja yang terbiasa kebutuhannya serba disediakan oleh Mama. Keras kepala sekali memang.

Hari demi hari saya lewati, dan ternyata ambisi saya berhasil terpenuhi. Keuangan keluarga aman terkendali, suami berhasil menjalani diet makan sehat, Rania tumbuh dengan baik dan semakin pintar, kondisi rumah juga meski nggak terlalu rapi, nggak sampai jadi kapal pecah. Ini membuat saya merasa hebat, ditambah lagi dengan berat badan yang entah bagaimana bisa menyusut 7kg dalam 3 bulan terakhir. What an achievement! Yah, paling tidak saya menghebatkan diri saya untuk penilaian pribadi, untuk kesenangan saya sendiri.

Saya membuat diri saya lebih berarti, setidaknya bermanfaat untuk anak dan suami, dengan cara dan standar saya sendiri. Penilaian orang lain? Sorry, I don't find it necessary.

Nah, ini adalah beberapa hal yang saya lakukan untuk menghadapi post-power syndrome pasca resign dan jadi IRT:
• Saya sudah mencari tahu tentang post-power syndrome sejak sebelum resign, jadi saya 'menganggarkan' waktu untuk ini. Saya membolehkan diri sendiri untuk 'menikmati' masa syndrome. Don't be too hard to yourself, right?
• Temukan hal lain yang bisa membuat self esteem kita 'aman' — setidaknya dengan versi kita. Maksudnya, hal apa yang bisa bikin mindset kita tetap bangga dengan diri kita sendiri dan tetap merasa berharga dalam kondisi yang baru. Tapi, tetap tentukan batasan, supaya kita nggak malah jadi terjebak sama ambisi self esteem kita sendiri.
• Sibukkan diri dengan kegiatan yang kita suka. Saya jadi lebih sering melakukan hobi supaya pikiran-pikiran ruwet nggak memenuhi kepala saya. Karena saat kita sibuk, kita nggak punya banyak waktu untuk memikirkan hal-hal yang bisa memperburuk post-power syndrome.
• Luangkan waktu untuk tetap berkumpul atau sekedar mengobrol dengan teman-teman, karena suasana hati sangat berpengaruh. Kadang teman-teman segan untuk menanyakan availability kita untuk sekedar ngobrol-ngopi cantik karena takut mengganggu kesibukan kita mengurus rumah tangga. Makanya, saya sering proaktif membuka obrolan dan bikin rencana buat main bareng. Karena kondisi hati yang senang bikin pikiran-pikiran negatif nggak punya tempat lagi di kepala kita.
• Berbagi cerita dan perasaan — pastikan tempat curhat adalah seorang pendengar atau media yang tepat karena bercerita pada orang yang salah hanya akan menambah-nambah masalah. Karena saya sudah bersuami, otomatis curhatnya sama suami. Tapi kadang, saat suami sedang sibuk, saya meluapkan perasaan saya lewat tulisan. Bagi saya, berkeluh kesah adalah kebutuhan dan hal yang wajar selama diungkapkan dengan tepat. Karena setelahnya, pasti saya merasa lebih lega dan bahagia. 

Intinya, post-power syndrome itu seringkali nggak bisa dihindari, tapi bisa diatasi. Mungkin aneh karena saya mengobati sindrom ini dengan memberi makan ego sendiri. Tapi poinnya adalah, saya ingin 'memanjakan' diri saya supaya nggak sedih berkelanjutan. Karena ya siapa yang paling mengerti cara membahagiakan kamu kalau bukan dirimu sendiri? Ibaratnya tubuh sedang sakit, jadi nggak apa-apa kalau sementara 'dimanja' sampai sembuh dan pulih.

Saya selalu ingat kalau satu obat nggak selalu bisa diresepkan untuk semua orang dengan penyakit yang sama. Kalau kamu flu, mungkin obatnya nggak sama kayak kalau saya flu. Atau bisa jadi, kita bisa sembuh dengan obat yang sama. Cocok-cocokan. Karena itu, saya mencari formula kewarasan saya sendiri, yang mungkin berbeda dengan 'obat' yang dikonsumsi orang lain dengan keluhan yang sama. Semoga teman-teman yang sedang mengalami post-power syndrome juga bisa segera menemukan obat yang cocok ya! :)

Comments

Popular posts from this blog

Kunjungan ke DSA Konsultan Nutrisi (Finally!)

Posyandu Day: Target Achieved?

Akhirnya Memilih Resign