Pelajaran dari Demam

Memilih profesi menjadi ibu mewajibkan saya untuk menguasai berbagai life skills. Seperti yang kita semua tau, seorang ibu adalah bagian keluarga yang merangkap koki, dokter, guru, perawat, manajer keuangan, ahli gizi, dan segala profesi lain yang sewaktu-waktu dibutuhkan. Singkatnya, palugada.

Dini hari tadi, kompetensi saya dalam menjalani karir sebagai ibu diuji. Kali ini, ujiannya seputar penanganan demam pada anak. Sebelumnya, saya sempat membeli dan membaca skimming buku 'Berteman Dengan Demam' karya dr. Arifianto, Sp.A atau @dokterapin— pediatri pilihan saya untuk Rania. Dari buku itu saya belajar supaya nggak panik dan fever phobia

Alhamdulillah, karena Rania nggak pernah sakit selama ini kecuali demam pasca-imunisasi, apa yang saya baca belum pernah saya praktekkan.

Rania mulai demam Senin sore. Saya kekeuh untuk melakukan apa yang sudah saya pelajari, saya mau memberikan yang terbaik untuk Rania dengan menerapkan prinsip rational use of medicine (RUM). Keesokan harinya, Rania masih demam, suhunya makin tinggi. Puncaknya dini hari tadi, suhunya genap 40°C. Rania yang awalnya hanya sering merengek ingin menyusu, jadi sangat rewel nggak bisa tidur dan nggak mau menyusu. Saya masih percaya kalau panasnya akan segera mereda.

3 jam suhunya nggak turun-turun, saya mulai goyah. Bukan karena takut Rania kejang demam—karena saya dan suami nggak punya riwayat kejang demam, tapi karena Rania nggak bisa tidur selama 3 jam itu. Saya mulai kasihan dan nggak tega. Akhirnya saya berikan obat antipiretik dengan tujuan untuk menyamankan Rania. Saya nggak berharap suhunya turun supaya observasi lebih mudah, saya cuma pingin Rania lebih nyaman dan bisa tidur. Tapi ternyata setelah itu suhu tubuh Rania berangsur turun dan dia bisa tidur pulas.

Kenapa nggak buru-buru diturunkan demamnya?
Mengacu pada buku tulisan dr. Apin, pada dasarnya demam diciptakan dengan tujuan baik. Demam bukan penyakit, melainkan tanda dari suatu penyakit; tanda bahwa tubuh sedang melawan 'sesuatu'. Awalnya saya maju mundur untuk percaya, tapi setelah saya ingat-ingat lagi, saya memang sering mengalami demam saat ada bagian tubuh yang sakit. Jadi, demam adalah respon dan informasi yang diberikan tubuh supaya kita tahu kalau tubuh sedang menghadapi 'ancaman'. Makanya, yang perlu diketahui dan disembuhkan adalah 'ancamannya', bukan demamnya.

Kenapa harus RUM?
Untuk diri sendiri, sebisa mungkin saya selalu menghindari penggunaan obat. Selain karena nggak bisa menelan obat yang berukuran besar, saya selalu 'galak'; kalau sakitnya masih bisa saya tahan akan saya biarkan sembuh sendiri tanpa minum obat-obatan kimia. Hasilnya, saat saya sakit dan benar-benar butuh obat, minum obat dengan dosis ringan saja sudah sangat membantu dan cepat sembuh.

Lain halnya dengan Mama dan suami saya. Tiap merasa nggak enak badan, mereka selalu buru-buru minum obat. Alasannya supaya nggak jadi sakit. Benar memang, kalau gejalanya masih ringan, ya langsung sembuh. Tapi lama kelamaan, obatnya jadi 'nggak mempan'. Obat-obatan warung jadi percuma diminum, karena semakin lama tubuh mereka seperti sudah resisten dan nggak lagi mudah disembuhkan dengan obat bebas.

Itulah pemikiran dan pengalaman saya sebagai awam di bidang kesehatan.

Belajar dari pengalaman, saya memutuskan untuk menerapkan kebiasaan saya dalam penggunaan obat untuk anak. Ditambah lagi setelah membaca buku dan artikel serta sharing sesama ibu tentang kesehatan anak, saya semakin yakin kalau tubuh kita diciptakan dengan sangat canggihnya sehingga untuk beberapa penyakit kita nggak membutuhkan obat, kita cuma butuh pemahaman bagaimana cara menghadapinya. Setelah selama ini saya dianggap suka pelihara penyakit karena nggak mau minum obat, akhirnya saya mendapat 'dukungan'. Saya semakin yakin untuk menggunakan obat-obatan dengan lebih rasional.

Kalau begitu, apa yang saya lakukan saat anak demam?
Secara berkala, saya memeriksa suhu tubuh Rania dengan menggunakan termometer. Termometer adalah salah satu benda wajib yang selalu dibawa ke manapun saya bersama Rania. Semakin suhunya meningkat, semakin sering saya tawarkan makanan dan minuman. Untuk makan-minum, memang nafsu makannya berkurang saat demam, tapi alhamdulillah Rania nggak susah minum, baik ASI maupun air putih. Saat demam, yang paling dikhawatirkan adalah dehidrasi, karena itu saya menghidrasi Rania lebih banyak lagi saat demam.

Saya juga memastikan kalau suhu ruangan cukup sejuk dan memakaikan pakaian yang tipis dan pendek, supaya Rania nggak gerah dan terlalu banyak berkeringat. Karena lagi, masalah utama saat demam adalah dehidrasi.

Suhu di atas 38°C nggak dikasih antipiretik? Untungnya, Rania masih tampak ceria dan bermain seperti biasa saat suhunya sekitar 39°C, meski tidurnya mulai nggak nyenyak dan jadi rewel saat mengantuk, jadi saya masih bisa tenang dan menahan pemberian antipiretik. Rania juga sering twitching saat tidur, lalu terbangun menangis, apalagi saat suhunya mencapai 40°C. Saat kondisi seperti ini, saya mencoba kembali menenangkan diri saya sendiri sambil menggendong Rania. Karena perasaan ibu yang nggak tenang juga sedikit-banyak berdampak ke anak. Kalimat "sabar ya, Nak, Mami di sini temenin kamu.. Sebentar lagi demamnya turun" adalah andalan saya untuk menenangkan Rania, yang sebenarnya untuk menenangkan diri saya sendiri juga. Entah berapa kali saya ulang dalam sehari.

Saat suhu tubuh Rania mencapai 40°C dan mulai nggak bisa berhenti menangis, suami saya menawarkan untuk membawanya ke RS. Seketika saya langsung teringat beberapa teman dan kerabat yang pernah mengalami kondisi seperti ini. Mereka membawa anaknya ke IGD dan anaknya langsung diinfus lalu diberikan antibiotik, padahal belum tahu demamnya karena apa (dan akhirnya diketahui demamnya karena virus). Saya nggak sanggup membayangkan tangan mungil kesayangan saya harus ditusuk-tusuk jarum infus dan mengkonsumsi obat-obatan yang kurang tepat guna hanya karena kecemasan saya.

Pergi ke dokter nggak?
Iya. Biar bagaimanapun, ibu mana yang nggak sedih dan khawatir kalau anaknya demam, kan? Walau mungkin sebenarnya nggak perlu, sebagai ibu baru saya masih butuh 'diyakinkan'.

Hari ini hari keempat. Demamnya sudah reda dan suhu tubuhnya sudah kembali normal, tapi saya tetap membawa Rania ke dr. Apin. Beliau mengobservasi Rania dan diagnosis yang saya dapat adalah Roseola–karena di wajah, punggung, dada, dan tangan Rania mulai muncul ruam-ruam merah. Roseola adalah virus yang umum menjangkiti anak di bawah 3 tahun dan akan sembuh dengan sendirinya, tanpa perlu obat maupun antibiotik. Saya lega sekali, meski sempat menyesal karena memberikan antipiretik. Sifat keras kepala di saat-saat seperti ini kadang ada gunanya juga.

Dari pengalaman ini saya semakin semangat untuk belajar, dalam hal ini soal kesehatan, karena menjadi ibu harus banyak membaca supaya paham dan tidak panik. Knowledge is power. Semakin kita paham, semakin kita percaya diri, semakin tenang dan kuat menghadapi berbagai kondisi. Semangat belajar yang mulai mengendur karena kesibukan menemani Rania bermain jadi meningkat lagi karena kedatangan si demam ini. Alhamdulillah ala kulli hal, terima kasih demam!


Comments

Popular posts from this blog

Kunjungan ke DSA Konsultan Nutrisi (Finally!)

Posyandu Day: Target Achieved?

Akhirnya Memilih Resign