Akhirnya Memilih Resign
Wacana resign sebenarnya sudah lama menjadi bahan diskusi antara saya dan suami. Waktu itu, saya sedang hamil muda dengan symptom sakit kepala berkepanjangan akibat hormon. Namun kala itu Partner (re: level tertinggi di Kantor Akuntan Publik) saya menyarankan untuk tetap bekerja di sana, dengan segala privilege untuk wanita hamil yang beliau tawarkan. Akhirnya saya goyah dan batal mengajukan resign.
1 tahun berlalu.
Bayi mungilku sudah memasuki usia 5 bulan, namun rasanya 3 bulan maternity leave ditambah 2 bulan masa praktik menjadi working mom masih belum cukup untuk menemukan ritme yang pas agar saya bisa istirahat dengan cukup. Saya selalu mengawali pagi dengan rasa kantuk karena jam tidur yang minim, siang hari yang kurang fokus karena lelah dan mengantuk, serta malam hari yang penuh kekhawatiran tentang bagaimana menjalani hari esok, takut malam ini anakku rewel--yang meski pada kenyataannya ia amat jarang terbangun rewel di malam hari.
Mengapa memutuskan untuk resign?
Sejak awal pascamelahirkan hingga hari ini, Mama saya selalu membantu mengurus si kecil, termasuk ketika saya bekerja, karena ketidaknyamanan saya melihat bayi mungil kesayangan diasuh oleh babysitter. Praktis, saya harus berganti shift dengan Mama sepulang dari kantor. Hal ini membuat saya kelelahan. Pasca cuti melahirkan, saya tidak pernah merasa 100% dalam tiap hal yang saya lakukan. Baik menjadi ibu maupun dalam pekerjaan, saya merasa tidak maksimal karena fokus selalu terpecah-pecah, yang kemudian ditambah dengan kondisi fisik yang sering terganggu akibat kurang istirahat. Sementara itu, bayi saya masih full ASI, yang berarti saya harus selalu dalam kondisi fit agar produksi ASI saya tetap baik dan mencukupi kebutuhannya.
Dengan segala pertimbangan, suami menyarankan saya untuk resign dan fokus mengurus Rania. Ia terus berusaha meyakinkan saya bahwa ia akan berusaha semampunya untuk memenuhi segala kebutuhan kami. "Mungkin ga berlebih, tapi insya Allah cukup," ia bilang. Karena menurutnya, pilihan merumahkan istrinya adalah pilihan yang paling tepat, bukan hanya untuk anak kami, tapi juga untuk rumah tangga kami. Pasalnya, sejak saya kembali bekerja pasca cuti melahirkan, saya dan Rania tinggal di rumah orangtua saya, sementara suami tetap tinggal di rumah kami yang berjarak 1 jam dari sana dan hanya sesekali menginap. Setelah beberapa bulan berjalan, ternyata semi-long distance marriage ini memang tidak terlalu cocok bagi kami.
Bagaimana meyakinkan diri untuk resign?
Sebenarnya saya nggak pernah yakin untuk resign. Apalagi setiap bertemu dengan atasan-atasan untuk 'pamit', saya selalu dihadiahi dengan iming-iming pilihan yang membuat goyah. Dan bagi saya, resign tak pernah menjadi pilihan yang mudah. Saya menyukai pekerjaan dan lingkungan kerja saya. Meski dengan jam kerja yang gila dan ritme kerja yang tidak teratur, tapi saya menikmati masa hampir 3 tahun bekerja di sana. Ditambah dengan teman-teman yang cukup toleran menerima segala kekurangan saya terutama saat saya hamil, yah, jadi semacam love-hate relationship. Selain itu, terbiasa menghasilkan nominal yang lumayan setiap bulannya juga membuat saya gentar untuk menyudahi karir sebagai auditor.
Lalu saya teringat, bukankah Allah sudah menjamin rezeki semua makhlukNya? Bahkan burung-burung liar di alam bebas pun sudah Ia siapkan rezekinya, jadi untuk apa saya khawatirkan rezeki saya dan anak saya? Dan apakah rezeki selalu berbentuk uang? Lagipula, Allah sudah menjanjikan apapun yang sudah ditakdirkan menjadi milik saya akan tetap menjadi milik saya dan tidak akan pernah tertukar dengan milik siapapun, sampai kapanpun, dengan caraNya yang mungkin tidak pernah terpikirkan oleh saya.
Akhirnya, dengan ikhlas saya memberanikan diri untuk berhenti bekerja per Agustus 2018. Rasanya ini adalah kali pertama saya berdiri di titik tertinggi tawakal dalam hidup saya. Mempercayakan segalanya kepada sebaik-baiknya Pengatur, Perencana Maha Bijak.
•••
Hari ini genap 1 bulan saya menjadi fulltime mother tanpa asisten rumah tangga. Saya masih membiasakan pola 'hidup baru' dengan segala detil-detil di dalamnya. Transformasi drastis dan besar-besaran, sangat tidak mudah. Saya juga masih mengumpulkan kepercayaan diri untuk menjadi ibu rumah tangga yang baik, karena masih belum terbiasa dengan pekerjaan-pekerjaan domestik yang kadang terasa monoton. Meskipun di rumah saja, saya tetap berusaha produktif dan mengaplikasikan skill yang saya miliki di rumah. Cita-cita saya ingin menjadi ibu yang profesional, bukan seorang ibu rumah tangga yang sering dicibir karena konon pengetahuannya hanya di kisaran dapur-sumur-kasur. Doakan saya berhasil ya!
Comments
Post a Comment